Satu pertanyaan sederhana yang
ingin kutanyakan. Ada yang tahu rujak? Atau ada yang pernah makan rujak? Rujak
apa yang kalian makan? Rujak cingur, rujak gobet, atau rujak es krim yang ada
di Jogja? Tapi apakah kalian pernah dengar atau pernah menikmati rujak petis?
Pasti jawabannya ada yang pernah dan ada yang tidak atau belum pernah. Bagi
yang tidak atau belum pernah menikmati rujak petis, ijinkan aku untuk sedikit
mendeskripsikan mengenai makanan khas desa Bulu kecamatan Bancar Kabupaten
Tuban yang berada di pantura ini.
Sebelumnya, memang tak ada yang
pernah mendeklarasikan kalau rujak petis adalah makanan khas desa Bulu. Bukan
karena rujak petis tak ada nilai historis dan ekonomisnya, tapi karena rujak
petis sendiri hanya sebuah makanan desa yang kalah pamor dengan rujak-rujak
yang ada. Selain itu, karena rasa asin dari kuah olahan ikan yang dijadikan
bahan petis itu sendiri juga tak bisa melayani lidah setiap orang. Jadi rujak petis
hanya terbelenggu di plosok desa Bulu dan sekitarnya saja. Karena itulah, aku
sebagai putra asli Bulu mencoba mengenalkan rujak petis sebagai makanan khas
sekaligus ber-omset yang menjanjikan.
Petis dalam wadah yang hampir habis [] dok. pribadi |
Petis sendiri adalah hasil olahan
sampingan dari kuah ikan pindang yang dipanaskan sampai mengental. Tentunya
dalam proses pembuatan petis tersebut, sudah ditambahkan bumbu pelengkap
lainnya. Yang lebih dominan adalah gula, mengapa demikian? Karena kuah dari
ikan pindang sendiri itu sebenarnya sudah sangat asin, sehingga gula bisa
meminimalkan rasa asin tersebut. Dan petis di dalam rujak petis berperan
sebagai sambal pelengkap.
Kemudian untuk bahan-bahan
rujaknya sendiri, kebanyakan memakai buah-buahan seperti nanas, bengkuang,
ketimun, mangga muda, kedondong, papaya, belimbing, jambu monyet dan kalau suka
bisa ditambah apel hijau dan jambu air. Semua buah tersebut diiris tipis tapi
jangan terlalu tipis. Selain buah, bisa juga ditambahkan sayur-sayuran seperti
kangkung, tauge (kecambah), dan kacang panjang.
Rujak petis yang siap dinikmati [] dok. pribadi |
Cara membuat rujak petis sendiri
adalah seperti ini. Pertama ambil petis secukupnya, tambahkan cabai, sedikit
penyedap makanan, gula (bisa gula batu atau gula aren) dan lembutkan pada wadah
dari batu atau tanah liat (orang desa menyebutnya cowek). Setelah petis,
cabai dan gula menyatu, masukan irisan dari buah-buahan di atasnya. Bisa juga
irisan ini dipisahkan ditaruh wadah tersendiri. Dan rujak petis sudah bisa
dinikmati. Ini kalau kita membuat sendiri rujak petis tersebut. Kalau kita beli
dari penjual yang ada di desa Bulu, biasanya untuk penyajiannya masih sangat
tradisional, mereka (penjual rujak petis) menggunakan daun pisang yang dipincuk
(dibuat sedikit kerucut sehingga sambal petisnya berada di ujung
kerucutnya). Kadang juga menggunakan kertas minyak yang dibungkus ala kadarnya
saja. Itu sedikit pendeskripsian mengenai rujak petis. Sekarang bagaimana nilai
ekonomisnya? Akan kucoba jabarkan.
Satu bungkus rujak petis bisa
didapatkan dengan 2.000 rupiah saja, itu racikan bumbu dan buah-buahan dalam
rujak yang standar. Tapi kalau untuk bersama-sama, berlima atau sekeluarga.
Bisa memberikan uang terlebih dahulu, biar si penjual yang menakar sendiri,
seberapa banyak petis dan buah-buahan yang dipakai. Tapi biasanya setiap aku
beli, selalu kuberikan uang 4.000 rupiah. Oke itu dasarnya. Tapi aku mengambil
sampel 3.000 rupiah/bungkus.
Selanjutnya, jika 1 hari bisa
menjual 100 bungkus rujak petis. Maka si penjual akan mendapat keuntungan
sebanyak 3.000 x 100 = 300.000 rupiah/hari. Itu keuntungan kotor. Setelah
dikurangi dengan pembelian petis, buah-buahan, serta kerupuk. Laba bersih yang
bisa dihasilkan oleh si penjual rujak petis tersebut menyentuh angka 200.000
rupiah/hari. Coba kalian bayangkan kalau itu dihitung sebulan, bisa melebihi
gaji seorang PNS. Itu keuntungan yang dihasilkan hanya dari rujak petis,
sedangkan penjual rujak petis di Bulu kebanyakan juga menjual gorengan, es
kelapa, dan makanan ringan lainnya. Jadi bisa dihitung sendiri berapa
keuntungannya.
Yang baru aku jelaskan adalah
keuntungan omset rujak petis di desa. Lantas bagaimana kalau rujak petis ini
masuk di café, restoran, atau rumah makan yang notabene menjual makanan mahal.
Pastinya omset dari rujak itu akan meningkat. Tentunya dengan pengemasan dan tampilan
yang lebih modern lagi. Mungkin saja rujak petis dikemas lebih praktis dan
higienis, kemudian ada tambahan berupa macam-macam rasa, pilihan buah sebagai
bahan rujak, rasa petis yang disajikan bervariasi. Tetapi tak menghilangkan
konsep dasar rujak petis itu sendiri yaitu sambal petisnya.
Tapi sayangnya, mungkin rujak
petis 10 tahun atau 20 tahun mendatang
akan hilang seiring dengan meninggalnya orang yang sekarang berjualan rujak
petis. Ya akan hilang, karena, mana mau anak perempuan jaman sekarang berjualan
rujak petis di pinggir jalan desa. Meskipun keuntungan yang dapat dihasilkan seperti
yang sudah aku jelaskan, tapi kebanyakan perempuan di desa Bulu sekarang lebih
memilih kerja kantoran ketimbang mengembangkan lagi potensi dari rujak petis
itu sendiri. Tapi itulah sedikit mengenai rujak petis yang nikmat tapi
terbelenggu. Rujak petis sebagai peluang bisnis yang menjanjikan, tapi akan
hilang seiring perkembangan jaman. [] masupik
Sip Cak Luthfil, kata2ne jeru. kadang yo rodok ngenes nek ndelok potensi daerah lalu "terancam punah". Sukses selalu cak. #cahLasem
BalasHapusTerima kasih gilang :) kamu juga sukses yak!
BalasHapusAku tidak terlalu suka petis ikan, kalau petis udang masih suka. Pun begitu, kalau untuk rujak pasti enak banget ya.... rasanya ngangeni...
BalasHapusBtw, kita sama-sama tingal di desa Bulu, cuma beda kota. hihi....
@Mb Susi, bulunya mana mb? aku depan balai desa banjarjo.
BalasHapus